Baru-baru ini driver Grab
menggelar demo bertubi-tubi terkait pemblokiran akun yang membuat mereka tidak
bisa mencairkan insentif lebaran.
Hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga
di Kota Makassar.
Bukan cuma Grab, driver Gojek juga
sempat demo pada bulan Mei yang lalu.
Bagaimana dengan Uber? Sebenarnya pada tanggal 3 Mei
2017 kemarin mereka sempat demo juga, tetapi tidak masuk berita. Cari
saja di Google dengan kata kunci “demo driver uber karmel” maka akan muncul
banyak video yang direkam oleh para driver. Demonya valid, karena
seminggu setelah itu Uber merilis tanggapan resmi di website-nya.
Sayang, isinya normatif saja, tidak ada yang menjawab tuntutan secara gamblang.
Berita yang saya cantumkan di atas adalah
berita-berita terbaru. Tapi kalau Anda Googling barang
sebentar, demo driver Transportasi Online (TO) kepada
perusahaan sudah terjadi berkali-kali. Motif dasarnya selalu sama, driver merasa
perusahaan tidak benar-benar menganggap mereka sebagai mitra.
Kalau demo terjadi secara berulang-ulang dengan alasan
yang sama, berarti akar masalahnya belum terselesaikan. Jika memang sejajar,
seharusnya para “driver dan owner” (baca: mitra)
dilibatkan secara struktural dan formal. Kalau para mitra benar-benar
dilibatkan dalam pembuatan aturan, apa ya mereka bakal demo tentang aturan?
Padahal TO sudah menjadi tempat ribuan orang mencari
nafkah. Apa ya mau begini-begini terus?
Kira-kira apa solusinya? Struktur ekonomi seperti apa
yang sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia yang kekeluargaan dan
gotong-royong?
Pernah dengar Koperasi?
Bukannya Memang Sudah Koperasi?
Jadi, secara legal-formal memang perusahaan TO
sudah bekerjasama
denganbeberapa
koperasi supaya tidak melanggar aturan pemerintah.
Aturan yang dimaksud adalah ketentuan penyelenggaraan jasa angkutan mobil yang
harus dinaungi oleh badan hukum
dengan izin angkutan, sesuai dengan PM 26 tahun 2017.
Apakah ini bentuk koperasi yang diharapkan? Jelas
bukan.
Kalau dibuat diagram, kira-kira sekarang strukturnya
seperti ini:
Gambaran struktur perusahaan TO saat ini.
Kalau bentuknya seperti ini, relasi antara perusahaan
TO dan mitra sama sekali bukan perkoperasian. Ini hanya relasi majikan-buruh
seperti biasa.
Satu saja pertanyaan saya, dalam struktur di atas,
siapa yang bisa menentukan aturan main, harga, poin, dan bonus? Koperasi A?
Koperasi B?Atau tetap perusahaan TO-nya?
Menilik struktur dan aturan saat ini, apakah Anda
melihat sesuatu yang janggal?
Kenapa harus lewat badan hukum lain? Kenapa bukan
Uber, Grab, atau Gojek yang langsung menaungi para mitra? Aturan yang ada hanya
menyatakan wajib berbadan hukum dan tidak harus dalam bentuk koperasi. Jadi
sebenarnya badan hukum perusahaan TO yang berbentuk PT bisa-bisa saja langsung
membawahi para mitra. Tapi kenapa harus ada “penengah” lain?
Jawabannya, karena para perusahaan TO maunya dianggap
sebagai perusahaan IT dan tidak mau disebut sebagai perusahaan transportasi.
Kenapa? Beberapa alasannya adalah apabila dianggap sebagai perusahaan
transportasi maka a) driver harus dianggap sebagai pegawai,
dan b) mobil yang digunakan harus atas nama perusahaan.
Kedua alasan di atas akan sangat menghambat gerak para
perusahaan TO karena belanja pegawai dan belanja aset yang harus dikeluarkan
untuk semua itu akan sangat besar. Mereka akan menjadi tidak “seksi” di mata
para investor karena hanya menjadi perusahaan
transportasi biasa saja, bukan
suatu startup teknologi.
Berarti Enggak Cocok Ya Kalau
Jadi Koperasi?
Tunggu dulu. Saya cuma bilang kalau para perusahaan TO
pasti tidak akan mau untuk langsung menaungi para mitra. Ini masalah
ketidakmauan, bukan ketidakcocokan. Kalau dibilang tidak cocok menjadi
koperasi, wah, itu sebuah kesalahan yang besar.
Bentuk koperasi sangat cocok untuk TO terutama karena
dua hal ini:
1.
Modal kendaraan dari “driver dan owner” (baca:
mitra) sendiri.
2. Pencatatan transaksi yang jelas.
Kalau kita perhatikan, poin 1 membuat andil perusahaan
TO menjadi terasa minimal. Kerja utama mereka hanya marketing dan
manajemen sistem. Mayoritas aset & modal sudah disediakan oleh para mitra
dalam bentuk kendaraan bermotor. Kekuatan sebenarnya terletak di tangan para
mitra.
Sedangkan poin 2 merupakan dampak dari penggunaan
aplikasi berbasis IT. Data transaksi yang tercatat dengan baik ini akan
memudahkan proses pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada para anggota koperasi setiap
tahunnya.
Kesalahan Struktur TO
Saat Ini
Sebelum kita bahas sistem koperasi seperti apa yang
tepat untuk TO, coba kita analisis kesalahan pada sistem TO yang ada saat ini
dengan melihat substansi dari demo-demo yang sudah terjadi:
1.
Penyusunan
dan perubahan aturan. Siapa yang melakukan fungsi
tersebut? Adakah perwakilan mitra atau konsumen yang dilibatkan?
2.
Penentuan
harga. Siapa yang menentukan harga?
Katanya hanya marketplace (penghubung) driver dengan consumer,
tapi kok ikut menentukan harga? Di mana-mana pasar tidak ikut menentukan harga,
adanya juga himbauan.
3.
Penentuan
bonus. Siapa yang menentukan bonus?
Besar mana proporsi bonus dengan harga standar? Bonus poin ini disusun demi
kepentingan siapa? Apakah hanya agar para driver tidak bekerja
rangkap?
4. Manfaat jangka panjang. Dengan segala keringat, waktu, airmata, tenaga, dan
modal yang dikeluarkan oleh para mitra, apa yang mereka dapatkan di luar
bayaran harian dan mingguan? Padahal mereka adalah elemen yang justru
memberikan manfaat nyata di lapangan.
Inti dari masalah-masalah di atas sebenarnya
adalah power dynamics. Perusahaan TO selalu membungkus relasi
mereka terhadap driver dan ownerdengan istilah
“mitra” sehingga memunculkan kesan bahwa mereka sejajar.
Kalau sejajar kenapa keputusan selalu dibuat searah?
Kalau bukan sejajar ya jadinya relasi perusahaan-pegawai dong. Kalau menyebut
kata pegawai biasanya perusahaan TO pada sensitif, haha. Karena kalau dianggap
pegawai, waduh berapa duit mereka habis buat gaji para “mitra”.
Koperasi TO yang Sejati
Kalau memang benar-benar mau membangun koperasi
Transportasi Online, maka kedua syarat berikut harus terpenuhi:
1.
Keterlibatan
seluruh elemen. Suara mitra dan konsumen harus
bisa dipertimbangkan tanpa perlu demo atau posting di medsos.
Harus ada perwakilan dari mitra, konsumen, sekaligus pemerintah secara
struktural.
2. Pembagian keuntungan yang adil. Para mitra yang sudah berkorban banyak tentu harus
mendapatkan imbalan yang setimpal. Konsumen yang sering menggunakan layanan TO
juga harus mendapatkan manfaat lebih.
Struktur organisasi yang memenuhi kedua syarat di atas
dan tetap sesuai dengan UU No 25 tahun
1992 tentang Perkoperasian kira-kira seperti ini:
Rancangan koperasi TO multi-pihak.
Bentuk koperasi ini disebut koperasi multi-pihak (multi-stakeholder co-op). Struktur ini memastikan
keterlibatan dari & keuntungan bagi seluruh elemen yang terkait.
Berikut penjelasan dari bagan di atas:
1.
Rapat
anggota: Pemegang kekuasaan tertinggi
dalam koperasi. Prinsipnya demokratis dengan 1-man-1-vote dan
wajib dihadiri oleh seluruh anggota. Berhak mengangkat dan memberhentikan
pengurus, pengawas, serta pembina.
2.
Pengurus: Bertanggung jawab mengenai segala kegiatan koperasi
dan usahanya. Terdiri dari perwakilan mitra, pengelola, dan konsumen.
3.
Pengelola: Tim manajemen yang bertugas mengelola dan
mengembangkan sistem aplikasi. Diangkat oleh Pengurus dalam hubungan kerja atas
dasar perikatan. Bisa bergabung sebagai anggota koperasi.
4.
Pembina: Terdiri dari perwakilan pemerintah, Organda, ahli
transportasi, serta pihak eksternal lain yang memiliki kemampuan untuk membina
Pengurus.
5.
Pengawas: Opsional. Bertugas melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan Koperasi. Berisi perwakilan
dari elemen yang sama dengan Pengurus.
6. Anggota: Seluruh mitra, konsumen, pengelola, dan anggota masyarakat yang sanggup
memenuhi syarat pendaftaran anggota koperasi.
Melalui bentuk koperasi multi-pihak ini maka syarat
nomor 1 bisa dipenuhi. Struktur ini akan mencegah terjadinya demo dengan
menjamin keterlibatan seluruh pihak yang memiliki kepentingan dalam
keberlangsungan koperasi.
Syarat nomor 2 — pembagian keuntungan yang adil — akan
dipenuhi melalui pembagian SHU. Mekanisme ini akan mewujudkan kesejahteraan
jangka panjang bagi seluruh elemen yang terlibat, terutama driver dan owner.
sumber gambar : http://caraharian.com/
Pembagian SHU didasarkan pada dua hal, yaitu Jasa
Modal dan Jasa Usaha.
Jasa Modal
Salah satu syarat untuk menjadi anggota koperasi adalah membayar simpanan pokok. Simpanan ini dibayarkan di awal saja.
Salah satu syarat untuk menjadi anggota koperasi adalah membayar simpanan pokok. Simpanan ini dibayarkan di awal saja.
Selain simpanan pokok di awal, masing-masing anggota
juga harus membayar simpanan wajib bulanan. Nilai simpanan wajib dapat
dibedakan antar jenis anggota. Misalnya, karena kemampuan bayarnya tidak sama,
maka mitra mobil dan motor dibedakan angka setorannya.
Eksklusif bagi owner kendaraan,
mereka dapat menambah nilai Jasa Modal melalui simpanan khusus.
Syarat simpanan khusus adalah bersedia
menyerahterimakan mobil miliknya kepada koperasi (mengikuti aturan STNK atas
nama badan hukum). Nilai jual dari kendaraan yang diserahkan ini menjadi nilai
simpanan khusus milik owner.
Simpanan khusus ini sebaiknya
hanya dilakukan selama koperasi belum sanggup membayar nilai mobil owner (baik
secara kontan maupun cicilan). Nilai simpanan khusus ini akan terlalu
mendominasi simpanan yang lain sehingga tidak selaras dengan semangat
kebersamaan koperasi. Simpanan khusus ini harus dibayarkan/dikembalikan kepada
owner sesegera mungkin.
Akumulasi simpanan pokok, wajib, dan khusus ini
menjadi nilai Jasa Modal dari masing-masing anggota.
Jasa Usaha
Penggunaan sistem berbasis IT membuat penghitungan Jasa Usaha masing-masing anggota menjadi jauh lebih mudah. Tidak hanya itu, IT juga mempermudah dalam membedakan mana transaksi anggota dengan transaksi non-anggota.
Penggunaan sistem berbasis IT membuat penghitungan Jasa Usaha masing-masing anggota menjadi jauh lebih mudah. Tidak hanya itu, IT juga mempermudah dalam membedakan mana transaksi anggota dengan transaksi non-anggota.
Driver yang lebih sering “narik” tentu memberikan pemasukan yang lebih besar bagi
koperasi. Begitu juga dengan para consumer yang rajin
menggunakan jasa TO koperasi, mereka juga berhak mendapatkan imbal jasa yang
setimpal. Akumulasi transaksi yang dilakukan selama satu tahun menjadi nilai
Jasa Usaha masing-masing mitra dan konsumen.
Khusus untuk pengelola, nilai Jasa Usaha mereka
dihitung dari total waktu kerja. Waktu kerja ini dikalikan dengan suatu faktor
konversi sehingga bisa menjadi nilai Jasa Usaha masing-masing pengelola.
Rumus Penghitungan SHU
Agar para anggota semakin semangat untuk menggunakan layanan koperasi, proporsi pembagian SHU dari Jasa Usaha Anggota (JUA) pada umumnya lebih besar daripada Jasa Modal Anggota (JMA). Biasanya JUA:JMA = 70:30. Hal ini selaras dengan semangat koperasi yang lebih mengedepankan partisipasi dalam transaksi daripada modal.
Agar para anggota semakin semangat untuk menggunakan layanan koperasi, proporsi pembagian SHU dari Jasa Usaha Anggota (JUA) pada umumnya lebih besar daripada Jasa Modal Anggota (JMA). Biasanya JUA:JMA = 70:30. Hal ini selaras dengan semangat koperasi yang lebih mengedepankan partisipasi dalam transaksi daripada modal.
Jadi misalkan SHU Koperasi X yang berasal dari
transaksi anggota nilainya sebesar Rp 100 juta dan diputuskan bahwa 40%
dibagikan kepada anggota, maka nilai JUA = 70% x Rp 40 juta = Rp 28 juta sedangkan
JMA = 30% x Rp 40 juta = Rp 12 juta.
Setelah didapatkan nilai JUA dan JMA, maka SHU bagi
masing-masing anggota dihitung dengan formula berikut:
Keuntungan Menjadi
Koperasi TO
Perubahan struktur menjadi koperasi akan menguntungkan
seluruh pihak yang terlibat, terutama driver, owner, dan costumer.
Siapa yang “rugi”? Tentu perusahaan yang saat ini menjadi pengelola TO, yaitu
Grab, Gojek, dan Uber.
Walau secara kasat mata terlihat “rugi”, namun
sebenarnya dalam jangka panjang format ini akan menguntungkan perusahaan.
Koordinasi akan berjalan lebih lancar, demo bisa dicegah, dan relasi dengan
pihak-pihak eksternal terjaga dengan baik.
Sistem koperasi ini akan mengembalikan keuntungan pada
pihak yang sebenarnya paling berpengaruh dalam kelangsungan TO, yaitu driver, owner,
dan consumer. Mereka yang memberikan manfaat terbesar tentu berhak
mendapatkan timbal balik yang sesuai.
Keuntungan lain yang tak kalah hebat dari koperasi
adalah berkurangnya kesenjangan ekonomi. Bukan hanya karena para anggota akan
bisa mendapatkan SHU setiap tahunnya, tetapi lebih besar dari itu, yaitu
perubahan mindset.
Para mitra yang sebelumnya hanya merasa sebagai buruh
akan berubah pola pikirnya karena ia juga pemilik. Para konsumen yang selalu
merasa ingin dilayani akan berubah sudut pandangnya karena ia punya hak untuk ikut
andil dalam membangun koperasi. Semangat berdikari akan tumbuh dengan
sendirinya pada diri masing-masing anggota.
Bahkan menurut saya konflik antara TO dengan
transportasi konvensionalbisa berkurang drastis. Para driver dan owner taksi
serta ojek konvensional seharusnya lebih bersedia bergabung dengan transportasi
berbasis aplikasi yang menggunakan struktur koperasi. Kenapa?Karena dengan
bentuk koperasi mereka bisa terlibat dan merasakan manfaat jangka panjangnya
secara langsung.
Perkembangan Koperasi
Internasional
Gerakan koperasi di kancah internasional sedang
mengalami perkembangan yang pesat. Pertumbuhan ini dipicu oleh krisis finansial
pada tahun 2008–2009 lalu serta data terbaru yang menunjukkan bahwa kesenjangan
ekonomi saat ini begitu tinggi.
Amerika Serikat
dan Inggris saja — dedengkot kapitalisme —malah sudah
memikirkan koperasi yang selaras dengan perkembangan dunia digital dan internet
saat ini, yaitu platform cooperativism.
Sangat disayangkan di Indonesia koperasi hanya identik
dengan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Itu pun belum tentu KSP
yang baik-baik. Begitu banyakpenipuan
investasi berkedok koperasi. Kasus yang terbaru ada Koperasi Pandawa
Group. Beberapa tahun lalu salah satu nama besar, Cipaganti, juga
sempat terjerat kasus penipuan
koperasi.
Buruknya reputasi koperasi ini membuat orang
menganggap koperasi tidak akan bisa sukses seperti usaha pada umumnya. Namun,
apakah realita di lapangan memang benar seperti itu?
Di Spanyol ada sebuah koperasi sangat besar
bernama Mondragon. Seberapa besar?
Total pegawainya ada 74.335 orang, perusahaan & koperasi yang ada di
dalamnya sebanyak 261 buah, dan mereka memiliki 15 pusat riset & teknologi.
Ini bukan koperasi ecek-ecek karena dia bahkan punya pabrik sendiri, bank
sendiri, asuransi sendiri, dan juga universitas sendiri.
Berkembangnya Mondragon dari tahun 1956 hingga
sekarang ini membuktikan bahwa sebenarnya koperasi bisa menjadi badan usaha
yang profesional, besar, dan sukses. Padahal Mondragon dimiliki oleh pegawainya
sendiri (worker-owned) lho, kurang hebat apalagi?
Koperasi terbesar di dunia: Mondragon
Salah satu proklamator kita, Bung Hatta, sudah dari
dulu menyerukan bahwa koperasi adalah realisasi dari ekonomi kerakyatan yang
sesuai dengan budaya Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 juga sudah jelas-jelas
mendorong koperasi sebagai instrumen utama — soko guru — perekonomian
Indonesia. Kenapa sampai sekarang belum terwujud sepenuhnya?
“Dasar kekeluargaan itulah dasar
hubungan istimewa pada koperasi. Di sini tak ada majikan dan buruh, melainkan
usaha bersama antara mereka yang sama kepentingannya dan tujuannya.” — Bung Hatta
Daftar Pustaka
https://medium.com/@msenaluphdika/biar-transportasi-online-ga-ribut-ribut-lagi-dibikin-koperasi-aja-gimana-efe1441572bd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar